Zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya) merupakan ancaman baru bagi kehidupan manusia di dunia. Berbagai fakta telah menunjukkan bahwa zoonosis berpotensi merugikan jauh lebih besar jika dibandingkan kerugian akibat perang. Perkembangan zoonosis dalam beberapa tahun terakhir menjadi tanda akan hadirnya ancaman yang mematikan bagi umat manusia. Jika tidak dikendalikan secara komprehensif maka perubahan pola zoonosis dapat terus muncul dan menyebar melintasi batas wilayah. Kondisi ini kian membuat dunia menjadi khawatir.
Sampai saat ini setidaknya tidak kurang dari 300 penyakit yang berasal dari hewan yang dapat menular ke manusia. Sebagian berpeluang menjadi wabah di suatu negara jika tidak ditangani dengan baik. Sebut saja rabies, antraks, BSE, SARS, flu burung, serta penyakit mulut dan kuku (PMK) yang membuat kita harus berpikir ulang untuk mengabaikan permasalahan ini. Dalam dua puluh tahun terakhir, 75% dari penyakit-penyakit baru (emerging diseases) pada manusia terjadi akibat perpindahan patogen hewan ke manusia atau bersifat zoonotik dan 1415 mikroorganisme patogen pada manusia yang telah diketahui sebesar 61,6% bersumber dari hewan (Brown 2004).
Simak saja kasus terakhir zoonosis bulan November 2008 kemarin dilaporkan 4 orang meninggal akibat rabies di Bali. Belum lagi jika kita melihat laporan dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) yang menyatakan bahwa lebih dari 250 foodborne disease (penyakit yang ditularkan melalui makanan). Sebagian besar penyakit tersebut bersifat infeksius yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, dan prion yang dapat dipindahkan melalui makanan serta tidak sedikit diantaranya adalah foodborne zoonosis (penyakit hewan yang ditularkan ke manusia melalui makanan).
Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan zoonosis meningkat dari waktu ke waktu dan seiring waktu semakin banyak korban yang diakibatkannya, sehingga kita memerlukan strategi dalam menghadapi zoonosis serta foodborne disease tersebut. Strategi tersebut tentu tidak bisa dilakukan oleh salah satu profesi saja mengingat ancaman zoonosis tidak hanya melibatkan manusia tetapi hewan sebagai sumbernya. Artinya kita memerlukan kerja sama yang baik antara profesi dokter dan profesi dokter hewan.
Jika kita berharap adanya kerjasama tersebut maka kita perlu melihat garis pembatas antara kedokteran dan kedokteran hewan sekarang ini lebih nyata dibandingkan abad-abad yang lampau, sesungguhnya pemisahan antara kedua disiplin ini mulai terbentuk di abad ke-20. Sejumlah alasan penyebab adalah secara geografis beberapa perguruan tinggi kedokteran dan kedokteran hewan tidak ditempatkan pada satu lingkup dan pengaturan akademik yang sama.
Faktor lain adalah pengaruh sosial. Namun ekologi dan mikrobiologi tidak diajarkan di kedokteran seperti halnya di kedokteran hewan, sehingga mahasiswa kedokteran tidak begitu menyadari pentingnya penyakit zoonotik bagi kedokteran. Tambahan pula, fokus perguruan tinggi kedokteran hewan juga bergeser lebih ke hewan ternak dan hewan kesayangan untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat. Lebih lanjut kita juga perlu mengintegrasikan sistem pendidikan di lingkup dan antara perguruan tinggi kedokteran, kedokteran hewan dan kesehatan masyarakat. Upaya ini juga dimaksudkan untuk menghimbau peningkatan komunikasi lintas disiplin dalam berbagai kesempatan, baik itu seminar, konferensi, jurnal, kuliah, maupun pengembangan jaringan (networking) di bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu kunci keberhasilan dalam menghadapai zoonosis dan foodborne disease adalah terjalinnya kemitraan yang sinergis antara Kedokteran, Kedokteran Hewan dan Kesehatan Masyarakat tidak hanya dalam tingkat profesi tetapi juga tingkat mahasiswa. Strategi ini tentu tidak bisa berjalan jika hanya sebatas wacana atau opini saja tetapi harus dilaksanakan atau jika memungkinkan adalah diformalkan. Semoga...
Kamis, 15 Oktober 2009
Posted by Anonim on 15.38 with No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Komentar:
Posting Komentar