Minggu, 18 Oktober 2009

Global Warming Dan Penyakit Hewan

Global warming (pemanasan global) merupakan salah satu isu yang sangat penting di seluruh dunia saat ini, selain terorisme. Para kepala negara di seluruh dunia selalu menyempatkan diri membahas isu ini pada momen-momen pertemuan tingkat regional maupun internasional. Begitu pentingnya isu ini, baru-baru ini panitia pemberi Nobel, The Norwegian Nobel Committee menganugerahkan Nobel Perdamaian kepada mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Albert Arnold (Al) Gore Jr, dan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atas usahanya untuk membangun dan menyebarkan pengetahuan tentang global warming pada masyarakat dunia.

Global warming merupakan istilah yang menunjukkan peningkatan suhu rata-rata udara permukaan bumi dan lautan pada dekade terakhir dan peningkatan suhu ini masih akan terus berlangsung. Suhu udara rata-rata permukaan bumi meningkat 0.74 + 0.18 C dalam 100 tahun terakhir. Sedangkan IPCC memprediksi bahwa suhu global cenderung meningkat sebesar 1.1 sampai 6.4 C antara tahun 1990 dan 2100. Peningkatan suhu bumi sebenarnya dapat terjadi secara alami, namun penyebab utama global warming ini adalah tingginya level greenhouse gases, terutama CO2 dan metan di atmosfer akibat aktifitas manusia, seperti tingginya laju pembakaran bahan bakar fosil dan perubahan fungsi lahan terutama deforestasi.

Ada beberapa istilah lain di dalam literatur selain global warming yang biasa digunakan untuk menunjukkan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, yaitu climate change dan anthropogenic climate change.

Global warming telah terbukti memiliki dampak yang sangat luas pada kesejahteraan dan kesehatan manusia. Banyak literatur yang menyebutkan bahwa global warming turut bertanggungjawab terhadap terjadinya becana-bencana alam di belahan bumi ini, seperti gelombang panas, badai-badai tropis, banjir besar, ataupun kekeringan berkepanjangan yang melanda beberapa negara beberapa tahun terakhir ini. Selain menelan korban jiwa, bencana-bencana tersebut telah menimbulkan kerugian ekologi, ekonomi, dan sosial yang sangat besar. Meningginya level permukaan laut akibat global warming juga telah menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat penghuni pulau-pulau kecil di beberapa negara akan keberadaan tempat tinggalnya pada beberapa tahun yang akan datang.

Global warming juga diyakini sebagai penyebab munculnya wabah penyakit-penyakit yang disebarkan oleh vektor. Dimana, perubahan iklim dapat merubah pola distribusi dari vektor-vektor tersebut dan juga mempengaruhi laju reproduksi dan maturasi dari agen infektif yang ada di dalam tubuh vektor. Kondisi inilah yang diyakini menjadi salah satu penyebab tingginya kejadian Malaria dan Dengue pada beberapa negara, termasuk Indonesia.

Lalu apa dampak global warming terhadap kesejahteraan dan kesehatan hewan? Ilmuwan telah meyakini bahwa suhu bumi yang semakin tinggi akan mempercepat hilangnya spesies-spesies hewan dari muka bumi. Global warming pada skala global dan regional diprediksi akan merubah distribusi spesies, sejarah hidup spesies, komposisi komunitas, dan juga fungsi ekosistem. Selain itu, merebaknya penyakit infeksius pada beberapa hewan domestik maupun hewan liar yang disebabkan oleh global warming telah menjadi bukti bahwa ancaman global warming terhadap kesehatan hewan benar-benar sudah ada di depan mata.

Bukti pertama. Merebaknya penyakit Bluetongue di dataran Eropa antara tahun 1998-2005. Penyakit ini telah membunuh lebih dari 1.5 juta ekor domba dan menyebabkan periode ini sebagai periode wabah bluetongue terlama dan terbesar dalam sejarah Eropa. Lima serotipe virus bluetongue diketahui telah menginvasi Eropa pada periode ini. Kasus wabah bluetongue ini terjadi di beberapa negara atau wilayah yang sebelumnya dilaporkan sama sekali tidak pernah terdapat kasus Culicoides-borne arboviral disease, seperti Turki, dataran Yunani, Bulgaria, beberapa negara Balkan, dataran Italia, Sicily dan Sardinia, Corsica, kepulauan Balearic, dan Tunisia. Kejadian ini sekarang dihubungkan dengan kejadian pemanasan global di wilayah Eropa. Dari hasil penelitian yang dilakukan, terindikasi bahwa penyebaran dramatis dari vektor Culicoides imicola ke wilayah yang tidak pernah mengalami infeksi bluetongue sebelumnya atau transimisi virus bluetongue oleh vektor baru, C. obsoletus dan C. pulicaris, hanya terjadi di area-area yang secara nyata mengalami pemanasan suhu. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan langsung antara kemunculan bluetongue di Eropa dengan global warming.

Bukti kedua. Adanya keterlibatan global warming terhadap punahnya 67% dari sekitar 110 spesies katak Atelopus sp. dari pegunungan Costa Rica akibat infeksi fungi patogen Batrachochytrium dendrobatidis sekitar 20 tahun lalu. Atelopus sp merupakan spesies katak endemis di wilayah tropis benua Amerika. Analisa hubungan periode kepunahan terhadap perubahan level permukaan laut dan suhu udara menunjukkan bahwa pemanasan global telah menyebabkan suhu lingkungan pada sebagian besar pegunungan-pegunungan di wilayah Amerika Selatan dan Tengah bergerak mendekati suhu optimum pertumbuhan fungi pathogen B. dendrobatidis sehingga menyebabkan wabah dan mengakibatkan punahnya sebagian spesies Atelopus sp.

Dua kasus di atas telah memperlihatkan bahwa dampak negatif global warming terhadap kejadian penyakit pada hewan adalah nyata. Tidak hanya itu, peristiwa El Nino-Southern Oscillation, salah satu fenomena alam yang juga dipengaruhi oleh global warming, diketahui juga berpengaruh pada patogen yang hidup di laut yang menyebabkan penyakit pada oyster dan coral.

Walaupun sampai saat ini bukti keterlibatan global warming terhadap wabah penyakit menular pada hewan domestik baru ditunjukkan oleh munculnya wabah bluetongue di dataran Eropa yang telah disebutkan di atas, kita harus tetap waspada terhadap kemunculan-kemunculan wabah penyakit lainnya jika tidak ada usaha-usaha untuk memperlambat laju global warming. Banyak penyakit penting hewan domestik yang baik kemunculannya atau pun siklus hidup agen penyebabnya secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor cuaca, seperti suhu dan kelembaban udara. Misalnya :

Anthrax. Suhu, kelembaban udara, dan kelembaban tanah mempengaruhi keberhasilan germinasi dari spora Bacillus anthracis. Wabah biasanya berhubungan dengan perubahan musim hujan dan kemarau, serta suhu lingkungan yang tinggi.

Haemorrhagic septicaemia (pasteurellosis). Agen penyebab, Pasteurella multocida, dapat bertahan hidup di luar tubuh inang pada lingkungan yang lembab dan kejadian penyakit biasanya terjadi pada musim hujan.

Haemonchosis. Kemampuan hidup telur dan larva dari Haemonchus contortus, sampai mereka termakan oleh inang, bergantung pada suhu dan kelembaban. Pada kondisi lingkungan yang hangat dan kelembaban yang moderat, larva dapat hidup berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.

Masih banyak lagi penyakit-penyakit pada hewan domestik dan hewan liar yang kemunculannya atau pun siklus hidup vektor dan agen penyebabnya dipengaruhi oleh faktor suhu dan kelembaban lingkungan. Sehingga, perubahan cuaca akibat global warming dapat mempengaruhi waktu kemunculan wabah ataupun intensitas wabah dari penyakit-penyakit tersebut.

Categories:

0 Komentar: